Selasa, 30 Maret 2010

Pembantaian Siswa Sekolah Dasar

Disini saya ingin mengangkat kembali suatu kasus yang cukup memilukan dalam dunia pandidikan pada tahun 2005.

Moskwa, Sabtu - Sejumlah pejabat tinggi militer Rusia diduga turut membantu kelompok bersenjata melakukan penyerbuan ke sekolah di Beslan, Rusia, pada 1 September. Mereka juga diduga turut membantu pembantaian yang mengakibatkan 344 orang-pada umumnya murid sekolah dasar-tewas.

Serangan di Beslan itu dilakukan gerilyawan Chechnya. Keterlibatan militer Rusia itu dinyatakan oleh Alexander Torshin, anggota parlemen Rusia dan Ketua Komisi Penyelidikan Kasus Pendudukan sekolah dan Penyanderaan di Beslan.

Kantor berita Rusia, Interfax, Jumat waktu Moskwa, atau Sabtu (29/1) WIB, memberitakan bahwa dua pembantu dari 32 penyerang sekolah itu sudah ditahan. Pemerintah kini sedang memburu tiga orang lainnya. Juga menurut Torshin, di antara para tersangka terdapat para perwira berpangkat lebih tinggi dari mayor. "Tanpa bantuan antek-anteknya, tak mungkin para teroris dapat melakukan aksi dalam skala yang sebesar itu," kata Torshin lagi.

Anggota lain dari komisi itu, Vladimir Kulakov, menambahkan bahwa mereka yang membantu para gerilyawan itu tidak hanya berasal dari Beslan, tapi juga berasal dari pusat, yakni Moskwa. Semua perwira militer Rusia yang terlibat itu sampai kini masih menduduki jabatannya. Namun, Kulakov tak bersedia menyebut nama-nama oknum militer yang terlibat.

Menurut Kulakov, para pejabat militer itu mungkin telah membantu atau dapat saja membantu para penyerang itu secara tak langsung dengan cara tak melaksanakan tugas yang seharusnya mereka lakukan. Komisi telah melakukan penyelidikan selama berbulan-bulan. Mereka berharap dapat meluncurkan laporannya pada musim semi mendatang.

Menurut para analis, berita itu tak mengejutkan. Sebab, tak lama setelah penyanderaan berakhir, pejabat Pemerintah Rusia mengumumkan, seorang polisi telah ditahan karena dugaan terlibat dalam serangan. Belum jelas apakah polisi itu sama dengan salah seorang tersangka yang disebut Torshin.

Peristiwa penyanderaan berawal ketika 32 laki-laki bersenjata mengambil-alih Sekolah Nomor Satu di Beslan, Ossetia Utara, di hari pertama tahun ajaran baru, 1 September 2004. Ossetia Utara adalah daerah Rusia yang dekat dengan Chehcnya, sebuah republik Rusia yang sudah lama dikoyak-koyak perang.

Lebih dari 1.200 orang, termasuk para siswa, guru, dan orangtua siswa, ditahan selama tiga hari dalam kondisi yang menyiksa di gedung olahraga sekolah. Penyanderaan berakhir ketika salah satu bom, yang "ditanam" sendiri di ruang olahraga itu oleh kelompok penyandera, meledak.

Ketika atap sekolah runtuh dan api mulai membakar gedung, para sandera berusaha melarikan diri. Ketika pasukan Pemerintah Rusia melepaskan tembakan, para tersangka gerilyawan Chechnya itu menembaki para sandera yang mencoba melarikan diri. Masih belum jelas apa alasan di balik tembakan pertama yang dilepaskan tentara Rusia.

Presiden Vladimir Putin awalnya menolak seruan dilakukannya penyelidikan publik, seperti yang dilakukan Amerika Serikat, yang membentuk sebuah komisi penyelidikan khusus menyusul peristiwa serangan 11 September 2001. Namun, tekanan publik membuat Putin akhirnya mengalah.

Blokir jalan

Awal bulan ini, para anggota keluarga korban yang tewas dalam peristiwa pengepungan dan penyanderaan itu memblokir jalan utama di luar kota Beslan. Mereka berang karena para perwira militer yang seharusnya bertanggung jawab tak kunjung dipecat. Mereka menuntut pencopotan seluruh jajaran pemerintahan Ossetia Utara, khusunya Presiden Alexander Dzasokhov.

Menurut para demonstran, para pejabat lokal yang korup dan bekerja tak efisien telah membiarkan kelompok bersenjata itu melewati sejumlah pos pemeriksaan polisi, sehingga mereka bisa menduduki gedung sekolah. Pada Oktober lalu, Pemerintah Rusia telah menuntut tiga polisi karena dituduh melakukan kelalaian kriminal sehubungan dengan peristiwa penyerangan itu.

Rabu, 10 Maret 2010

Pariwisata Indonesia

Mengapa orang dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan sebagainya datang berduyun-duyun ke pantai Kuta dan pantai Sanur di Bali? Bukankah di negara mereka sendiri terdapat banyak pantai yang mungkin saja pemandangan alamnya lebih indah daripada pemandangan pantai Kuta dan Sanur di Bali tersebut? Bila kita kaji lebih dalam, ternyata yang menjadi tujuan mereka, para turis asing tersebut adalah ingin melihat Kebudayaan Bali yang terkenal eksotik dan unik, yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat mereka. Bila Bali tidak menawarkan kebudayaan masyarakatnya tersebut, mungkin tidak akan ada daya tarik para wisatawan untuk mengunjunginya.

Hal itulah sebenarnya merupakan gambaran konkret dari konsep pariwisata budaya yang istilahnya sering disebut-sebut oleh para pengambil kebijakan (pemerintah) dan para akademisi, namun seringkali sulit untuk dijelaskan dalam definisi konseptual yang operasional, terutama dalam menyepakati konsep kebudayaan itu sendiri.

Dalam khazanah antropologi Indonesia, kebudayaan dalam perspektif klasik pernah didefinisikan oleh Koentjaraningrat sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia yang diperoleh dengan cara belajar. Dalam pengertian tersebut, kebudayaan mencakup segala hal yang merupakan keseluruhan hasil cipta, karsa, dan karya manusia, termasuk di dalamnya benda-benda hasil kreativitas/ciptaan manusia. Namun dalam perspektif antropologi yang lebih kontemporer, kebudayaan didefinisikan sebagai suatu sistem simbol dan makna dalam sebuah masyarakat manusia yang di dalamnya terdapat norma-norma dan nilai-nilai tentang hubungan sosial dan perilaku yang menjadi identitas dari masyarakat bersangkutan.

Dengan demikian, pariwisata budaya merupakan jenis pariwisata yang berdasarkan pada mosaik tempat, tradisi, kesenian, upacara-upacara, dan pengalaman yang memotret suatu bangsa/suku bangsa dengan masyarakatnya, yang merefleksikan keanekaragaman (diversity) dan identitas (character) dari masyarakat atau bangsa bersangkutan. Garrison Keillor, pada tahun 1995 dalam pidatonya pada White House Conference on Travel & Tourism di Amerika Serikat, telah mendefinisikan pariwisata budaya di Amerika secara baik dengan mengatakan, "We need to think about cultural tourism because really there is no other kind of tourism. It's what tourism is...People don't come to America for our airports, people don't come to America for our hotels, or the recreation facilities....They come for our culture: high culture, low culture, middle culture, right, left, real or imagined -- they come here to see America."

Indonesia adalah negara yang kaya raya dengan sumber daya alam dan sumber daya budaya yang melimpah. Bangsa kita merupakan bangsa yang serba multi, baik itu multi-insuler, multibudaya, multibahasa, maupun multiagama. Kesemuanya itu bila dikelola dengan baik dapat dijadikan sebagai potensi untuk memakmurkan rakyat dan memajukan bangsa kita.

Sayangnya, dalam wacana pariwisata budaya di tingkat nasional, yang seringkali dijadikan rujukan dan contoh adalah pariwisata di Bali. Seolah-olah hanya daerah Bali yang hanya bisa dimajukan pariwisata budayanya untuk menarik kunjungan baik wisatawan nusantara maupun mancanegara. Tidak salah memang bila kita membanggakan keberhasilan Bali sebagai daerah tujuan pariwisata dunia yang telah menghasilkan sumbangan devisa terhadap negara dalam jumlah besar. Namun bila kita terjebak hanya mengandalkan satu daerah Bali saja, maka kemajuan pariwisata Indonesia akan mengalami ketergantungan yang sangat tinggi terhadap daerah tersebut. Hal ini terbukti, ketika di Bali terjadi tragedi bom yang diledakkan oleh kaum teroris, maka penerimaan devisa negara kita di bidang pariwisata menjadi anjlok.

Kemajuan pariwisata budaya di Bali sangat ironis dengan kondisi pariwisata budaya di daerah-daerah Indonesia lainnya. Di Subang, Jawa Barat misalnya, sepuluh tahun yang lalu, anak-anak remajanya masih banyak yang berminat untuk belajar tari jaipong, sisingaan, dan menjadi dalang wayang golek. Hampir setiap minggu dan dalam acara ritual kehidupan selalu diundang pentas sebagai hiburan budaya yang meriah. Saat ini, ketika teknologi semakin maju, ironisnya kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut semakin lenyap di masyarakat, bahkan hanya dapat disaksikan di televisi dan Taman Mini. Padahal kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut, bila dikelola dengan baik selain dapat menjadi pariwisata budaya yang menghasilkan pendapatan untuk pemerintah baik pusat maupun daerah, juga dapat menjadi lahan pekerjaan yang menjanjikan bagi masyarakat sekitarnya.
Ada banyak cara sebenarnya untuk memajukan pariwisata negara kita. Memang untuk memajukan pariwisata budaya bukan hanya tugas pemerintah tetapi juga masyarakat kita. Namun tentunya Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, serta Dinas Pariwisata di seluruh daerah di Indonesia, sebagai instansi pemerintah yang bertugas memajukan kebudayaan dan pariwisata Indonesia, memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Pertama, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sesuai dengan fungsinya yang hanya sebagai perumus kebijakan, harus berani dan tegas menentukan konsep, visi, dan misi pariwisata budaya Indonesia. Keberanian untuk menyepakati konsep pariwisata dan budaya juga harus dilakukan karena dalam dunia akademik tidak akan pernah disepakati kedua konsep tersebut yang disebabkan oleh selalu adanya dialektika antara temuan dan pemikiran cendekiawan satu dengan yang lainnya.

Kedua, sesuai dengan semangat otonomi daerah yang menyerahkan tugas pengembangan kebudayaan dan pariwisata kepada Dinas Pariwisata di masing-masing daerah, maka Dinas Pariwisata harus benar-benar menangkap pelimpahan tugas dan wewenang itu sebagai peluang untuk memajukan masyarakat di daerahnya. Sebagai contoh, dengan kekayaan budaya yang kita miliki, maka di setiap kabupaten atau kota Dinas Pariwisata minimal dapat mendirikan satu pusat atau sentra pariwisata budaya yang menampilkan keanekaragaman budaya di wilayahnya masing-masing. Bentuk konkretnya adalah didirikannya semacam Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di masing-masing daerah bersangkutan.

Ketiga, para pengamat pariwisata dan budaya sudah saatnya untuk lebih mengutamakan kajian dan penelitian yang merekomendasikan bagaimana memajukan kebudayaan dan pariwisata Indonesia dibandingkan dengan kajian dan penelitian yang selalu memberikan kritik yang belum tentu konstruktif terhadap kebijakan pembangunan pariwisata dan budaya, yang seringkali justru menyebabkan ketakutan pada instansi pemerintah untuk mengambil kebijakan.

Keempat, peran serta masyarakat dalam pembangunan sentra-sentra budaya di masing-masing daerah harus diutamakan. Misalnya, kelompok-kelompok kebudayaan dan kesenian yang akan dipentaskan harus bergiliran dan tidak dimonopoli oleh kelompok kesenian tertentu saja. Di samping itu, anggota masyarakat sekitar juga harus diutamakan untuk direkrut mengelola sentra budaya bersangkutan dengan diberikan pendidikan dan pelatihan terlebih dahulu.

Bila pembangunan pariwisata budaya ini dapat segera dilakukan dengan terarah dan berkesinambungan di seluruh daerah di Indonesia, maka kelestarian budaya, inovasi dan kreativitas budaya, kerukunan antarbudaya, lapangan pekerjaan, pemasukan terhadap pendapatan daerah dan devisa negara adalah sumbangan penting yang dapat diberikan oleh bidang pariwisata budaya untuk peradaban Indonesia yang lebih baik di masa mendatang.***

Penulis adalah Pengamat Budaya dan Pariwisata, bekerja di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Republik Indonesia